Yang membuat aku gembira sekarang adalah apa yang menjadi penantianku selama ini telah membangunkan aku dari tidur panjangku. Luas dan lama rasanya menikmati tidur yang panjang. Rasanya bagaikan menyantap garam tampa lauk.
Aku sempat memikirkan kawan-kawanku dalam kumpulan keindahan lukisan lukisan jiwa yang sepi. Hari demi hari minggu demi minggu bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun berjalan tanpa kepastian. Akhirnya aku menyadari betapa sepinya jiwa ini, bagaikan sepeda motor yang kehabisan bensin dan akhirnya mogok di tengah jalan yang berhutan tanpa ada orang lain. Aku terdiam menyepi karena belum ada solusi yang pasti. Sementara itu tiba-tiba terlintas di pikiranku memikirkan betapa ramainya suasana di tempat-tempat yang sering dikunjungi orang seperti pantai, sarana bermain bahkan tempat wisata terkemuka seperti Bali dan kota kota lainnya. Aku mengajak diriku sendiri memikirkan kondisi lokal di desa tercinta. Kapan waktunya desaku yang asri akan ramai dikunjungi seperti suasana di tempat tempat wisata atau seperti di kota-kota terkemuka lainnya. Itulah pikiran yang selalu membayangi diriku untuk bangkit dari lelah tidur panjangku dan berjuang demi terjadinya suatu perubahan yang signifikan terhadap kondisi lokal Desa tercinta.
Aku menyadari bahwa perjuangan ini akan lebih kuat dan berhasil jika aku mampu berkolaborasi bersama tokoh-tokoh seperti bapak kepala desa, bapak kepala kampung, bapak pembuka agama, bapak pemuka masyarakat bahkan ibu-ibu sekalipun termasuk pemuda dan anak-anak kecil. Satu kekuatan yang harus aku sadari dan persiapkan dalam tekad ini bahwa berkolaborasi dengan mereka mereka ini bukan seperti menikmati santapan KAMBALU DAN HELO'SIRA yang dihidangkan seperti kelezatannya dalam pesta pesta adat di kampung. Bahkan mungkin saja semangat tekad ini akan pudar seperti sinarnya bulan sabit yang bersinar di malam hari, entahlah?
Aku tak boleh putus asa untuk melanjutkan perjuangan ini, karena walau aku menyadari betapa gelapnya malam dan sunyinya kampung dari riuh pikuk malam bagaikan sinar bulan sabit, aku harus menganggap, ini sebagai hiasan semata dan sebagai sesuatu yang menjadi liku-liku yang menghiasi kehidupan dikampung ini. Aku harus tetap bersemangat, harus tetap berjuang hingga imajinasi imajinasi emas yang terkubur dilubuk hati dan pikiran terdalam ini dapat menjadi jembatan penghubung kemajuan di desa tercinta.
Aku sempat terpikir apakah hanya aku yang menikmati gelap dan sunyinya malam yang nyata terjadi di siang hari ini, semua warga terasa membisu, sunyi, semua seakan puas dengan keadaan yang ada, mereka tidak menyadari betapa kaburnya kampung ini dari tanda-tanda kemajuan.
Tidaaaak.....Tidaaaak.... Hatiku berkata tidak, tidak untuk sebuah lamunan yang tidak bermanfaat ini. Aku masih menyadari bahwa benih benih air imajinasi masih membasahi kalbuku ini untuk menjadi sumber kehidupan yang akan menyemangati pergerakan dan pertumbuhan pembaruan di kampung ini.
Saya percaya bahwa sinar mentari pagi masih akan menyemangati kehidupan ini bahkan sinar mentari sore haripun justru masih akan memanggil jiwa-jiwa untuk berkumpul menikmati senja. Kemudian hari senja itu akan menjadi sebuah suasana yang menarik dalam suasana santapan bersama menikmati ragam kuliner khas Wakatobi.
(Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar